Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembangunan Berkesadaran Lingkungan


Kondisi bumi saat ini, boleh dibilang sudah tidak lagi kondusif untuk hidup. Rentetan bencana alam; banjir, longsor, tsunami, kebakaran hutan, dan lain sebagainya, menjadi bukti nyata yang tak terbantahkan, bahwa bumi yang kita tempati saat sekarang sedang sakit parah akibat ulah penghuninya yang telah melakukan eksploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan aspek lingkungan.

Eksploitasi yang dilakukan manusia telah mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan, dimana dalam waktu belakangan dikenal dengan istilah global warming. Gerald Foley (1991) berpendapat, krisis atau kerusakan lingkungan ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat penebalan lapisan CO2, penipisan lapisan ozon (O3) sebagai dampak dari rumah kaca. Tanda lainnya adalah rawan pangan, permukaan air laut yang makin tinggi, gangguan ekologi, dampak sosial politik, dan perubahan-perubahan iklim yang tidak menentu.

Isyarat Gerald di atas, hampir secara keseluruhan telah terjadi di alam semesta ini, tak terkecuali di Indonesia. Lalu bagimana kita menghadapi persoalan ini? Disinilah jawaban problematis mengemuka. Di satu sisi, kewajiban menjaga lingkungan merupakan harga mati yang tak boleh ditawar-tawar lagi oleh seluruh lapisan masyarakat (negara) sebagimana himbauan KTT di Bali 2007 lalu.

Sementara di sisi lain, adanya komitmen kuat dari pemerintah untuk melaksanakan agenda pembangunan berkelanjutan sesuai hasil dari KTT Rio de Janeiro yang dideklarasikan 1992 silam. Indonesia salah satu negara penanda tangan agenda pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan Agenda 21.

Memang, disadari bahwa proses pembangunan yang berkelanjutan adalah proyek yang tidak bisa selesai dalam satu periode saja. Jadi, wajar kalau kemudian dampak negatif yang ditimbulkannya juga tidak bisa diselesaikan dalam waktu sesaat.

Problem pembangunan berkelanjutan

Karena itu, seringkali muncul suatu kebimbangan tentang model pembangunan berkelanjutan yang bisa menyeimbangkan antara dua kepentingan utama, yaitu kepentingan manajemen lingkungan dan kepentingan industrialisasi yang profit oriented secara penuh untuk menjamin masa depan bumi ini.

Artinya, laju proses pembangunan berkelanjutan bukanlah sesuatu yang haram untuk dilakukan. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana strategi memberikan suatu sisi pendekatan yang bisa meminimalkan dampak negatif dari proses pembangunannya. Pemahaman dan juga sekaligus kekhawatiran atas dampak negatif tentu sangat beralasan sebab realitas menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan pastilah tidak bisa terlepas dari proses eksplorasi untuk tidak mengatakan eksploitasi terhadap alam.

Fritjof Capra dalam The Hidden Connection mengungkapkan, ada dua perkembangan yang punya dampak besar pada kesejahteraan dan cara hidup umat manusia. Keduanya berkaitan dengan jaringan, dan keduanya melibatkan teknologi yang benar-benar baru. Yang pertama adalah kebangkitan kapitalisme global, dan yang lainnya adalah penciptaan masyarakat berkelanjutan berdasarkan pemahaman ekologis dan praktek ekodesign.

Dua macam itu saat ini saling bertentangan dan belum bisa didamaikan. Menurut pandangan Bernhard Glaeser (1990), rumusan klasik dari pertentangan tersebut adalah ekonomi versus ekologi. Keduanya pula dipercaya tunduk pada hukum-hukum yang berbeda. Ekologi tunduk pada hukum-hukum alam (fisika) yang menetapkan bahwa jumlah seluruh benda (matter) dan tenaga (energi) tidak dapat diperbesar oleh perubahan-perubahan dalam proses produksi.

 

Barangkali Capra terlampau optimis ketika menyandingkan keduanya, kapitalisme global dan masyarakat berkelanjutan, sebagai penanda baru bagi peradaban umat manusia. Jaringan kapitalisme global telah menancap sedemikian rupa, menyelusup masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan. Sedangkan cita-cita terwujudnya masyarakat berkelanjutan masih menjadi semacam utopia.

Tanggung jawab bersama

Jika demikian, muncul pertanyaan, bagaimana kita menciptakan masa depan bumi? Mengingat kemakmuran kita tergantung pada pembangunan ekonomi global yang berkelanjutan menurut lingkungan hidup, maka putusan-putusan kebijakan yang kita hasilkan selama dekade ini kelak menentukan apakah anak cucu kita akan hidup di dalam sebuah dunia yang makmur atau mengalami kemerosotan.

Implikasi UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diharapkan menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia untuk masa depan bumi atau lingkungan yang lebih baik. Proses penjagaan lingkungan ini sejatinya tidak disandarkan pada masyarakat yang seringkali menjadi objek dari kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi harus dijalankan secara bersama-bersama, baik masyarakat maupun pemerintah.

Sebab, disadari atau tidak, berbagai kehancuran ekologi di Tanah Air sebenarnya juga terjadi ditengarahi karena kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Tanah longsor dan banjir yang sekarang menimpa negeri ini akibat kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan hutan di masa lalu.

Hutan digunduli secara legal melalui HPH, dana reboisasi terus dipungut, tetapi penghutanan kembali tidak dilakukan secara benar dan konsisten. Tebang pilih tercantum dalam peraturan, namun cuma bagus di atas kertas. Korupsi dan aji mumpung telah menghancurkan hutan yang sekarang dialami anak bangsa ini melalui musibah banjir dan tanah longsor.

Sungguh miris bila tahu yang sebenarnya seperti yang diungkap Toto Sugiarto (2006), yaitu Illegal logging terjadi di mana-mana dengan kecepatan perusakan hutan yang amat dahsyat, lebih dari 7 hektar per menit dan terus mengalami percepatan. Manusia membabat hutan dengan serampangan, terus merusak hutan demi tumpukan uang dari penjualan kayu gelondongan, memperluas persawahan, perkebunan dan daerah hunian.

Itu sebabnya, banyak kalangan pernah secara tegas menolak keras PP No 2 tahun 2008 yang diteken langsung presiden SBY waktu itu. Bukan hanya lantaran harga sewa hutan yang tergolong supermurah alias pemasangan harga obral bagi perusahaan tambang. Tetapi juga lebih mementingkan dampak ekologis yang pada akhirnya akan memperparah kondisi lingkungan hidup yang kian waktu kian tragis.

Jadi ke depan, pelibatan semua pihak dan lapisan masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya, dukungan dari seperti aktivis lingkungan hidup, LSM, mahasiswa, dan tokoh agama(wan) wajib berperan aktif mengkampanyekan larangan pengrusakan lingkungan.

 

Khusus tentang peran agama(wan) dalam memperlakukan alam, Lynn White Jr (1999), pernah melontarkan kritik tajam dengan mengecam agama-agama monoteistik tidak bersahabat dengan alam. Menurutnya, ada kesalahan teologis dalam menafsirkan agama dalam kaitannya dengan alam. Masalah utamanya karena manusia dalam tafsir agama ditempatkan dalam posisi superior dan alam inferior.

Akibatnya, eksploitasi alam menjadi sah dan itu menjadi persoalan ketika saat ini agama akan dikedepankan dalam upaya menjaga ekologi. Artinya, ketika agama menempatkan alam lebih rendah dari manusia, eksploitasi sekehendak manusia menjadi sah.

Dari itu, ke depan, barangkali kita perlu mengkaji ulang, agar al-usul al-khamsah (lima dasar) dalam hukum Islam yang meliputi, memelihara agama (hifz al-din) memelihara akal (hifz al-'aql), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara kehormatan (hifz al-'ardl), dan memelihara harta benda (hifz al-mal) ditambah dengan satu asl (dasar) lagi, yaitu memelihara lingkungan (hifz al-bi'ah).

Alasannya, karena lima dasar itu sudah dianggap tidak memadai untuk menyadarkan masyarakat agar menghentikan melakukan perusakan lingkungan.

Posting Komentar untuk "Pembangunan Berkesadaran Lingkungan"