Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengaruh Penggunaan Sistem Pajak pada Penguasaan Tanah


A. Masa Sebelum Penjajahan

Pada masa Jawa tradisional, raja adalah satu-satunya pemilik tanah. Pola pembagian tanah pada saat itu berdasarkan kepada status sosial yang melekat pada sesorang. Pada masa itu pola penguasaan tanah tidak berdasarkan luas tanah, tetapi berdasarkan kepada jumlah penduduk (cacah).

Sistem ketatanegaraan Jawa tradisional, petani dibagi beberapa kelas. (1) Petani sikep, (2) Petani numpang atau bujang, dan (3) Petani kelas menengah (buang yang sudah menikah). Petani sikep adalah petani yang diberi tanah oleh raja sebagai ganti upah untuk tenaganya. Oleh karena itu pajak atas tanah hanya dibebankan kepada petani sikep selaku penguasa tanah. Petani sikep juga dapat memperluas tanahnya dengan cara pembukaan lahan baru dengan bantuan petani numpangnya, sehingga pada tahun 1830 banyak petani sikep di madiun memiliki tanah dengan luas diatas 10 hektar.

Petani sikep tidak dapat sepenuhnya menguasai tanah, karena penguasa mutlak atas tanah adalah raja. Ketika raja atau priyayi membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar untuk kerja bakti maka ia akan memerintahkan kepala desa untuk membentuk sikep-sikep baru. Pembentukan sikep ini membawa konsekwensi pemotongan atas tanah dari sikep lama, pengambilan secara paksa atas tanah seringkali menimbulkan konflik atau perang antar desa untuk mempertahankan hak miliknya. Akan tetapi disisi lain ini sangat menguntungkan bagi petani tanpa tanah dan pihak kerajaan mendapat dukungan politik dari para petani tersebut. Disamping pembentukan sikep baru, ada hal lain yang mengancam kemantapan petani dalam menguasai tanah. Petani bagi priyayi merupakan dasar politik dan militer, ketika seorang priyayi dipecat maka penggantinya akan berusaha mendapatkan kepastian kesetiaan dari para petani, oleh karena itu priyayi baru tersebut akan menempatkan pengikutnya sendiri diatas tanah pendahulunya.

Persoalan yang paling mendasar dalam ketatanegaraan Jawa tradisional adalah penguasaan terhadap tanah. Kaum elit kerajaan hanya melihat sumbangan dalam hasil produksi dan uang serta tenaga kerja bakti, sehingga sering terjadi pemotongan tanah milik petani. Oleh sebab itu petani mempunyai pandangan bahwa beban yang diberikan negara kepadanya sebagai sesuatu yang mengurangi hak atas tanah seseorang.

B. Masa Penjajahan

Awal mula pemakaian nama sewa atau pajak tanah digunakan pada perintahan selingan (1811 – 1816) dimana kekuasaan Belanda di Jawa dikuasai oleh Inggris selama peperangan Napoleon. Thomas Staford Raffles, gubenur jendral Inggris memperkenalkan sistem pajak atau sewa tanah. Sistem ini didasarkan pada raja adalah penguasa tanah, sehingga petani berkewajiban membayar sewa tanah kepada raja. Pada masa Raffles, pajak dibebankan kepada kepada setiap petani.

Setelah perang Napoleon daerah Jawa dikembalikan kepada Belanda, van den Bosh selaku pencipta cultuurstelsel merubah sistem pajak yang dibebankan kepada perorangan menjadi beban desa. Hal ini tidak lain untuk memperoleh tanah dan tenaga kerja dalam mensukseskan sistem tanam paksa.

Awal mula masuknya Belanda ke daerah Madiun dimulai sejak berakhirnya perang Dipenogoro (1825 – 1830). Sebenarnya daerah madiun merupakan propinsi luaran (mancanegara) akan tetapi setelah perang Dipenogoro, daerah tersebut kemudian diserahan kepada Belanda sebagai kompensasi dalam membantu menumpas pemberontakan.

Cara yang dilakukan Belanda untuk menguasai tanah adalah dengan menjanjikan uang bulanan, tanah milik, dan kedudukan yang dapat diwariskan kepada para priyayi. L. de Launy (1832 -1837) residen Madiun pertama memberikan pilihan kedua kepada priyayi. Sebagai pengganti tanah milik, mereka mendapatkan gaji bulanan ganda sampai jumlah f 500,- tetapi harus menyerahkan langguh mereka kepada negara. Semua priyayi di Madiun memilih pilihan kedua tersebut, sehingga posisi sebagai pejabat gajian posisi tawar mereka menjadi lemah. Belanda dapat memecat atau memindah mereka ke tempat lain, dan ternyata Belanda melaksanakan kedua-duanya.

Tanah yang diperoleh dari para priyayi tersebut dimanfaatkan oleh Belanda menjadi lahan perkebunan, sedangkan untuk memenuhi tenaga kerja? Belanda menerapkan sistem pajak atas tanah. Sebagi ganti dari pajak tanah, buruh tani melakukan kerja bakti di perkebunan Belanda. Pajak tanah sistem kolonial tidak dibebankan kepada perorangan, akan tetapi dibebankan atas tanah.

Di karesidenan Madiun, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja? Belanda menerapkan pola dimana jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan harus dijadikan penguasa tanah. Oleh karena itu, penguasaan tanah secara perorangan dirubah menjadi milik desa. Yang paling dirugikan dalam sistem ini adalah petani sikep, karena mereka harus membagi tanah secara merata. Akan tetapi masih ada peluang bagi mereka untuk mempertahankan kedudukan mereka, disamping petani sikep mereka juga disebut keluarga pendiri desa. Sehingga mereka berhak dipilih menjadi kepala desa atau duduk dipemerintahan desa, dengan gaji kepala desa 5 hektar dan lainnya 2 hektar.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin besarnya kebutuhan culturrstesel, maka orang desa hanya mendapat luas tanah sekitar 0.5 hektar. Keadaan seperti ini terus bertahan samapi sekarang, dimana lahan yang dimiliki petani luasnya hampir sama dengan masa kolonial.

Setelah masa tanam paksa berakhir (1870), Belanda mau merubah pola penguasaan tanah dari desa menjadi perorangan. Tetapi tidak pernah berhasil, karena priyayi dan pemuka-pemuka desa menentang rencana tersebut.

C. Kesimpulan

1. Pola penguasaan tanah melalui sistem pajak sudah dilakukan sebelum masa penjajahan (Jawa tradisional).

2. Di Madiun diterapkan sistem penguasaan tanah oleh desa.

3. Pajak dibebankan kepada desa, tidak pada perorangan. Sehingga pembagian tanah dibagi rata dengan jumlah penduduk (tenaga kerja).

Posting Komentar untuk "Pengaruh Penggunaan Sistem Pajak pada Penguasaan Tanah"